Suku Tengger merupakan masyarakat yang berasal dari dataran tinggi Bromo-Tengger-Semeru. Dari berbagai teori mengenai asal usul Suku Tengger, masyarakat percaya bahwa nenek moyang suku tersebut berasal dari Majapahit. Hal tersebut berkaitan dengan masa kerajaan Hindu di Pulau Jawa.
Masyarakat Suku Tengger dikenal dengan kearifan lokalnya yang kuat. Mereka hidup harmonis dengan alam dan menjunjung tinggi tradisi leluhur. Kepercayaan Hindu yang dianut Suku Tengger mewarnai berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk ritual adat dan keseharian.
Salah satu tradisi yang paling terkenal adalah Upacara Kasada. Upacara ini diadakan setiap tahun pada bulan Kasada (biasanya jatuh pada bulan purnama di bulan Juni) sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan leluhur. Dalam upacara ini, masyarakat Suku Tengger mengantarkan sesaji ke kawah Gunung Bromo sebagai persembahan.
Setelah upacara Kasada, Setiap tanggal 15 Bulan Karo (kedua) tahun saka, masyarakat Suku Tengger merayakan Hari Raya Karo. Upacara Hari Raya Karo merupakan ritual yang dilaksanakan oleh warga Suku Tengger di kawasan Gunung Bromo. Ritual ini merupakan penyucian diri terhadap Suku Tengger dan penghormatan kepada Hyang Widi Wasa yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.
Terdapat Tarian Sodoran yang menjadi sebuah budaya sekaligus tradisi masyarakat Tengger pada ritual peringatan Hari Raya Karo yang dilaksanakan di aula Balai Desa Ngadisari. Tari Sodoran adalah tarian sakral khas masyarakat Tengger yang melambangkan asal-usul manusia. Dari kepercayaan masyarakat Tengger, manusia itu dari Sang Hyang Widi Wasa dan mereka akan kembali kepada-Nya
Selain itu, Masyarakat suku Tengger juga masih mempertahankan tradisi budaya berupa upacara adat bernama unan-unan. Unan-unan digelar dalam bentuk persembahan sesaji berupa kepala kerbau sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Tengger kepada alam karena telah memberikan kehidupan selama ini. Masyarakat Tengger menggunakan kerbau sebagai sesaji karena mereka meyakini bahwa hewan bertanduk itu merupakan binatang pertama yang muncul di bumi. Tradisi ini telah dijalankan sejak berabad silam dan masih lestari sampai sekarang. Memasuki tahun 2024, masyarakat Tengger yang mayoritas adalah pemeluk Hindu Bali kembali menggelar unan-unan.